Jumat, 29 April 2011

Makalah Antihistamin

”Obat Anti Histamin”
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas Mata Kuliah Farmakologi I

Disusun oleh :

Anggi Nurinda Hanum           (09.007)
Candra Kurniawan      (09.016)


YAYASAN PUTERA INDONESIA MALANG
TAHUN AJARAN 2009-2010
MALANG, DESEMBER 2010

BAB I
Dalam hidup sehari-hari, manusia tidak terpisah dengan makhluk lainnya baik hewan, tumbuhan maupun benda-benda mikroskopik seperti debu, tungau, serbuk bunga sampai berbagai makanan yang kita konsumsi sehari-hari seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood.
Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing. Zat asing yang dinamakan alergen tersebut masuk ke dalam tubuh melalui saluran nafas (inhalan) seperti debu, tungau, serbuk bunga. Alergen juga dapat masuk melalui saluran percernaan (ingestan) seperti susu, telur, kacang-kacangan dan seafood. Di samping itu juga dikenal alergen kontak yang menempel pada kulit seperti komestik dan perhiasan.(http://www.kompasiana.com/diah_marliati_a_soeradiredja/Histamin, Penyebab Gatal-gatal karena Alergi)
Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel mast (mast cell). Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh stress dan depresi.(http://www.kompasiana.com/diah_marliati_a_soeradiredja/Histamin, Penyebab Gatal-gatal karena Alergi)
Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian obat antihistamin yang banyak dijual secara bebas. Efek samping dari pemakaian obat diantaranya linglung, pusing, sembelit, sulit berkemih dan penglihatan kabur, namun jarang ada penderita yang mengalami hal tersebut. Dewasa ini terdapat obat antihistamin generasi terbaru yang tidak berefek sedatif (mengantuk) dan beraksi lebih lama, namun harganya lebih mahal dan harus ditebus dengan resep dokter. (http://www.kompasiana.com)
Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi. Jika penderita kontak lagi dengan alergen, maka alergi akan muncul kembali. Oleh karena itu, yang terbaik untuk mengatasi alergi adalah dengan menghindari kontak dengan alergen, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, meningkatkan sistem kekebalan tubuh serta menjauhi stress.


2.1.1 Definisi Histamin
Histamin adalah suatu alkaloid yang disimpan di dalam sel mast, dan menimbulkan berbagai proses faalan dan patologik. Histamin pada manusia adalah mediator penting untuk reaksi-reaksi alergi yang segera dan reaksi inflamasi, mempunyai peranan penting pada sekresi asam lambung, dan berfungsi sebagai neurotransmitter dan modulator. (Udin Sjamsudin: 1995)
Histamin adalah senyawa jenis amin yang terlibat dalam reaksi imun lokal, selain itu senyawa ini juga berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis di lambung dan sebagai neurotransmitter. Jika tubuh terpapar patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut. (http://www.apoteker.info/arsip_histamin.htm)
Histamin adalah suatu amin nabati (bioamin) yang ditemukan oleh dr. Paul Ehlirch (1878) dan merupakan produk normal dari pertukaran zat histidin melalui dekarboksilasi enzimatis. (Tan Hoan Tjai: 2006)
Histamin didapatkan pada banyak jaringan,sehingga dinamakan histamine (histos= jaringan)  memiliki efek fisiologis dan patologis yang kompleks melalui bebagai subtype reseptor, dan sering kali dilepaskan setempat. Histamine dan serotonin bersama dengan peptide endogen, prostaglandin dan leukotrien . histamine dihasilkan oleh bakteri yang terkontaminasi ergot. (Anonim, 2007)
Histamin adalah suatu senyawa nitrogen organik lokal yang terlibat dalam respon imun serta mengatur fungsi fisiologis dalam usus dan bertindak sebagai neurotransmitter. Jika tubuh terpapar patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast, dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut. (http://www.wikipedia/histamin.html)
Jadi Histamin adalah senyawa jenis amin yang disimpan dalam sel mast dan dikeluarkan ketika tubuh terpapar oleh antigen sebagai respon dar sistim kekebalan tubuh.

Setelah dibentuk, histamin disimpan dan di nonaktifkan oleh enzim histamin-N-methyltransferase atau oksidase diamina . Dalam SSP, histamin dilepaskan ke dalam sinaps dan diuraikan oleh histamin-N-methyltransferase. (http://www.wikipedia/histamin.html)
Bakteri juga mampu menghasilkan dekarboksilase histamin menggunakan enzim yang berbeda dengan enzim yang ditemukan pada hewan. Bentuk non infeksi penyakit dari keracunan makanan adalah karena produksi histamin oleh bakteri dalam makanan basi, terutama ikan. (http://www.wikipedia/histamin.html)

Histamin dapat dibebaskan dari sel mast oleh beberapa factor:
·         Rusaknya sel
Histamine banyak dibentuk di jaringan yang sedang berkembang dengan cepat atau sedang dalam proses perbaikan, misalnya luka.
·         Senyawa kimia
Banyak obat atau zat kimia bersifat antigenic, sehingga akan  melepaskan histamine dari sel mast dan basofil. Contohnya adalah enzim kemotripsin, fosfolipase, dan tripsin.
·         Reaksi hipersensitivitas
Pada orang normal, histamine yang keluar dirusak oleh enzim histamin dan diamin oksidase sehingga histamine tidak mencapai reseptor Histamin. Sedangkan pada penderita yang sensitif terhadap histamine atau mudah terkena alergi jumlah enzim-enzim tersebut lebih rendah daripada keadaan normal.
·         Sebab lain
Proses fisik seperti mekanik, thermal, sinar UV, atau radiasi cukup untuk merusak sel terutama sel mast yang akan melepaskan histamin.

Histamin memegang peranan utama pada proses peradangan dan system daya tangkis. Kerjanya berlangsung melaui beberapa reseptor. Histamin memiliki khasiat farmakologi yang hebat, antara lain dapat menyebabkan vasodilatasi yang kuat  dari kapiler-kapiler, serentak dengan konstriksi (penciutan) dari vena-vena dan arteri-arteri, sehingga mengakibatkan penurunan tekanan darah perifer. Sehubungan dengan sirkulasi darah yang tidak sempurna ini, maka  diuresis dihalangi. Juga permeabilitas dari kapiler-kapiler menjadi lebih tinggi, artinya lebih mudah ditembusi,  sehingga cairan dan protein-protein plasma dapat mengalir ke cairan diluar sel dan menyebabkan udema. Disamping  ini organ-organ yang memiliki otot-otot licin, sebagai kandungan dan saluran lambung usus, mengalami konstriksi, sehingga menimbulkan rasa nyeri, muntah-muntah, diare. Begitu pula di paru-paru terjadi konstriksi dari  ranting-ranting tenggorok (bronchioli) dengan akibat nafas menjadi sesak (dyspnoe) atau timbulnya serangan asma  (bronchiale).
Histamin juga mempertinggi sekresi kelenjar-kelenjar, misalnya ludah, asam dan getah lambung, air mata  dan juga adrenalin. Dalam keadaan normal jumlah histamin dalam darah adalah sedikit sekali, sehingga tidak menimbulkan efek-efek tersebut diatas. Histamin yang berlebihan diuraikan oleh enzim histaminase (=diamino-oksidase) yang terdapat pada ginjal, paru-paru, selaput lendir usus, dan jaringan-jaringan lainnya.
Table 2.1 Reseptor Dan Aktifitas Histamin
Jenis
Lokasi
Fungsi
Reseptor histamine H1
Ditemukan pada otot polos , endotel , dan sistem saraf pusat jaringan
Penyebab, bronkokonstriksi , bronkial otot polos kontraksi, pemisahan sel-sel endotel (bertanggung jawab untuk gatal-gatal ), dan nyeri dan gatal-gatal karena sengatan serangga, reseptor utama yang terlibat dalam rhinitis alergi gejala dan mabuk ; peraturan tidur
Reseptor histamine H2
Terletak di sel parietal dan sel-sel otot polos pembuluh darah
Terutama yang terlibat dalam vasodilatasi. Juga merangsang sekresi asam lambung
Reseptor histamine H3
Ditemukan pada sistem saraf pusat dan tingkat yang lebih rendah sistem saraf perifer jaringan
Penurunan neurotransmiter rilis: histamin, asetilkolin , norepinefrin , serotonin
Reseptor histamine H4
Ditemukan terutama di basofil dan di sumsum tulang . Hal ini juga ditemukan pada timus , usus kecil , limpa , dan usus .
Memainkan peran dalam chemotaxis
Sumber : (http://www.wikipedia/histamin.html)

Alergi (hipersensitifitas) menggambarkan reaktivitas khusus host terhadap suatu unsure eksogen pada kontak kedua kali. Reaksi hipersensitivitas meliputi sejumlah peristiwa autoimun dan alergi serta merupakan kepekaan berbeda terhadap suatu antigen eksogen atas dasar proses imunologi. (Hoan Tjai: 2007)
Alergi atau hipersensitivitas tipe I adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya imunogenik (antigenik)atau dikatakan orang yang bersangkutan bersifat atopik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing dan berbahaya, padahal sebenarnya tidak untuk orang-orang yang tidak bersifat atopik. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut alergen.( http://id.wikipedia.org/wiki/Alergi)
Alergi adalah sebuah reaksi yang dilakukan tubuh terhadap masuknya sebuah benda asing. Ketika sebuah substansi tak dikenal masuk, antigen, tubuh serta merta akan meningkatkan daya imunitasnya untuk bekerja lebih giat.
reaksi alergi merupakan respon sistem kekebalan yang diperkuat secara tidak tepat atau buruk terhadap sesuatu yang tidak membahayakan. pada umumnya, reaksi alergi dapat berbentuk rasa sakit kepala atau kelelahan, bersin-bersin, mata berair dan hidung tersumbat.
Menurut berbagai pengertian di atas , dapat diambil kesimpulan bahwa alergi merupakan  reaksi berlebihan yang dilakukan tubuh terhadap masuknya antigen (allergen), sebagai respon system kekebalan tubuh.
Bila suatu protein asing (antigen masuk) berulangkali ke dalam aliran darah seseorang yang berbakat hipersensitif, maka limfosit b akan membentuk antibodies dari tipe Ig E. IgE ini yang juga disebut reagin , mengikat diri pada membrane sel mast tanpa menimbulkan gejala. Apabila kemudian antigen (allergen ) yang sama atau yang mirip rumus bangunnya memasuki darah lagi, maka IgE akan mengenali dan mengikat padanya. (Hoan Tjai: 2007)
Hasilnya adalah suatu reaksi alergi akibat pecahnya membrane sel mast (degranulasi). Sejumlah zat perantara (mediator dilepaskan yakni histamine bersama serotonin, bradikinin dan asam arachidonat), yang kemudian diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien. Zat itu menarik makrofag dan neutrofil ke tempat infeksi untuk memusnahkan penyerbu. Disamping itu mengakibatkn beberapa gejala, seperti vasodilatasi, bronchoconstriksi dan pembengkakan jaringan sebagai reaksi terhadap masuknya antigen. (Hoan Tjai: 2007)
Hipersensitivitas terjadi dalam reaksi jaringan terjadi dalam beberapa menit setelah antigen bergabung dengan antibodi yang sesuai. Ini dapat terjadi sebagai anafilaksis sistemik (misalnya setelah pemberian protein heterolog) atau sebagai reaksi lokal (misalnya alergi atopik seperti hay fever). (Brooks: 2005)
Urutan kejadian reaksi hipersensitifias adalah sebagai berikut: (Baratawidjaja, 2006).
Fase Sensitisasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik (Fcε-R) pada permukaan sel mast dan basofil.
Fase Aktivasi, yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mast melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
Fase Efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mast dengan aktivitas farmakologik.
Mekanisme alergi, misalnya terhadap makanan, dapat dijelaskan sebagai berikut. Secara imunologis, antigen protein utuh masuk ke sirkulasi dan disebarkan ke seluruh tubuh. Untuk mencegah respon imun terhadap semua makanan yang dicerna, diperlukan respon yang ditekan secara selektif yang disebut toleransi atau hiposensitisasi. Kegagalan untuk melakukann toleransi oral ini memicu produksi antibodi IgE berlebihan yang spesifik terhadap epitop yang terdapat pada alergen. Antibodi tersebut berikatan kuat dengan reseptor IgE pada basofil dan sel mast, juga berikatan dengan kekuatan lebih rendah pada makrofag, monosit, limfosit, eosinofil, dan trombosit. (Rengganis dan Yunihastuti: 2007).
Ketika protein melewati sawar mukosa, terikat dan bereaksi silang dengan antibodi tersebut, akan memicu IgE yang telah berikatan dengan sel mast. Selanjutnya sel mast melepaskan berbagai mediator (histamine, prostaglandin, dan leukotrien) yang menyebabkan vasodilatasi, sekresi mukus, kontraksi otot polos, dan influks sel inflamasi lain sebagai bagian dari hipersensitivitas cepat. Sel mast yang teraktivasi juga mengeluarkan berbagai sitokin lain yang dapat menginduksi reaksi tipe lambat (Rengganis dan Yunihastuti: 2007).
Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.
Tipe 1, gangguan gangguan alrrgi (reaksi segala, “ immediate) berdasarkan reaksi antara allergen-antibody (IgE) dengan degranulasi mast-cells dan khusus terjadi pada orang yang berbakat genetic (keturunan). Tipe-I ini juga dinamakan alergi atopis atau reaksi anafilaksis dan terutama berlangsung disaluran nafas (serangan pollinosis, rhinitis, asma) dan di kulit (eksim resam = dermatitis atopis), jarang di cerna (alergi makanan) dan di pembuluh (shock anafilaksis). Mulai reaksi nya cepat , dalam waktu 5 sampai 20 menit setelah terkena alergen, maka sering kali di sebut reaksi segera. Gejalanya bertahan lebih kurang 1 jam.
Tipe 2, autoimunitas ( reaksi sitolitis). Antigen yang terikat yang terikat pada membrane sel beraksi dengan IgG atau IgM  dalam darah dan menyebabkan sel musnah (cytos=sel, lysis= melarut ). Reaksi ini terutama berlangsung di sirkulasi darah. Contohnya adalah gagguanauto-imun akibat obat, seperti anemia hemolitis(akibat pinisilin)’ agranulotosis (akibat sulfamida)’ arhitis rheumatika ’SLE (system lupus erymetodes) akibat hedrolazim atau prekaimida. Reaksi autonium  jenis ini umumnya sembu dalam waktu berapa bulan setelah penggunaan obat berhenti.
Timbulnya penyakit auto-imun adalah bila system imun tidak “mengenali” jaringan tubuh sendiri dan menyerangnya. Gangguan ini bercirikan terdapatnya auto-antibodies atau sel-sel-T autoreaktif dan lazimnya dibagi dalam dua kelompok, yang berdasarkan:
auto-imunitas organ-pesifik (menyangkut organ tunggal), mis. Animia pernicoios, addiison’s diaese, lih bab 46, ACTH.
auto-imunitas nonorgan spesifik (menyangkut pelbagai organ), mis SLE, MS.
Tipe 3, gangguan ilmun-komplek (reaksi arthus). Pada paristiwa ini, antigen dalam sirkulasi bergabung dengan terutama          IgG menjadi suatu imun-kompleks, yang diendapkan pada endotel pembulu. Di tempat itu sebagai respons terjadi peradangan, yang disebut penyakit serum yang bercirikan urticaria, demam dan nyeri otot serta sendi. Reaksinya dimulai 4-6 jam setelah “terkena” (exposure) dan lamanya 4-12 hari. Obat-obat yang dapat menginduksi reaksi ini adalah sulfanamidin, penisilin dan iodide. Imun-kompleks dapat terjadi di jaringan yang menimbulkan reaksi local (arthus) atau dalam srikulasi (gangguan sistemis).
Tipe 4 (reaksi lambat,’delenyet’). Anti gen terdiri dari suatu kompleks hapten+protein, yang bereaksi dengan T-limposit yang sudah disensitasi. Limfokin tertentu (=sitokin dari limfosit) dibebaskan, yang menarik magrofog dan neutrofil, sehinga terjadi reaksi peradangan. Proses penarikan itu disebut chemotaxis.mulai reaksi sesudah 24-48 jam dan bertahan beberapa hari. Contohnya adalah reaksi tuberculin dan dermatitis kontak.

Bentuk alergi tipe 1 s/d 3 berkaitan dengan dan imunitas imonoglobulin homolar (lat. Humor=cairan tubuh), artinya adahubungan dengan plasma. Hanya tipe 4 berdasarkan imunitas-sekuler (liimfosit-T) (Hoan Tjai: 2007)

Table 2.2  penggolongan jenis-jenis hipersensitifitas
Jenis Hipersensitivitas
Mekanisme Imun Patologik
Mekanisme Kerusakan Jaringan dan Penyakit
Tipe I Hipersensitivitas cepat
IgE
Sel mast dan mediatornya  (amin vasoaktif, mediator lipid, dan sitokin)
Tipe II
Reaksi melalui antibodi

IgM, IgG terhadap permukaan sel atau matriks antigen ekstraseluler
Opsonisasi & fagositosis sel
Pengerahan leukosit(neutrofil, makrofag) atas pengaruh komplemen dan FcR Kelainan fungsi seluler (misal dalam sinyal reseptor hormone)
Tipe III
Kompleks imun
Kompleks imun (antigen dalam sirkulasi dan IgM atau IgG)
Pengerahan dan aktivasi leukosit atas pengaruh komplemen dan Fc-R
Tipe IV (melalui sel T)
Tipe IVa
Tipe IVb
CD4+ : DTH
CD8+ : CTL

Aktivasi makrofag, inflamasi atas pengaruh sitokin
Membunuh sel sasaran direk, inflamasi atas pengaruh sitokin
Sumber: Baratawidjaja, 2006

Penyebab alergi yang lazim ditemukan antara lain sebagai berikut:
(http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/alergi.htm)
Sengatan lebah atau serangga lain.
Makanan, khususnya kacang, ikan, seafood.
Gigitan serangga.
Obat.
Serbuk sari.
Debu.
Udara panas atau udara dingin.
2.2.6 Nutrisi Dan Alergi
Makanan merupakan salah satu penyebab reaksi alergi yang berbahaya. Seperti alergen lain, alergi terhadap makanan dapat bermanifestasi pada salah satu atau berbagai organ target: kulit (urtikaria, angiodema, dermatitis atopik), saluran nafas (rinitis, asma), saluran cerna (nyeri abdomen, muntah, diare), dan sistem kardiovaskular (syok anafilaktik) (Rengganis dan Yunihastuti, 2007). Urtikaria akibat alergi makanan biasanya timbul  setelah 30-90 menit setelah makan dan biasa disertai gejala lain seperti diare, mual, kejang perut, hidung buntu, bronkospasme, hingga gangguan vaskular. Semua gejala ini diperantarai oleh IgE (Baskoro, 2007).
Hampir setiap jenis makanan memiliki potensi untuk menimbulkan reaksi alergi. Alergen dalam makanan terutama berupa protein yang terdapat di dalamnya. Namun, tidak semua protein dalam makanan mampu menginduksi produksi IgE. Penyebab tersering alergi pada orang dewasa adalah kacang-kacangan, ikan, dan kerang. Sedangkan penyebab alergi tersering pada anak adalah susu, telur, kacang-kacangan, ikan, dan gandum. Sebagian besar alergi hilang setelah pasien menghindari makanan tersebut, dan melakukan eliminasi makanan, kecuali terhadap kacang-kacangan, ikan, dan kerang cenderung menetap atau menghilang setelah jangka waktu yang sangat lama. (Rengganis dan Yunihastuti, 2007)
Ikan dapat menimbulkan sejumlah reaksi. Alergen utama dalam codfish adalah Gad c1 telah diisolasi dari fraksi miogen. Udang mengandung beberapa alergen. Antigen II dianggap sebagai alergen utama. Otot udang mengandung glikoprotein otot yang mengandung Pen a1 (tropomiosin). Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan saluran nafas. Tanda dan gejalanya disebabkan oleh pelepasan histamine, leukotrien, prostaglandin, dan sitokin. Alergen yang dimakan dapat menimbulkan efek luas, berupa respon urtikaria di seluruh tubuh, karena distribusi random IgE pada sel mast yang tersebar di seluruh tubuh (Rengganis dan Yunihastuti, 2007).

Tanda-tanda reaksi alergi diantaranya:
(http://k34437h.multiply.com/journal/item/282/TANDA-TANDA_ALERGI)
Sistem Pernapasan:
pada bayi, napas sering berbunyi grok-grok, batuk, pilek, bersin, mimisan, hidung buntu, sesak (asma), sering menggerak-gerakkan/mengusap-usap hidung.
Sistem Pembuluh Darah dan jantung:
palpitasi (berdebar-debar), flushing (muka kemerahan), nyeri dada, kolaps (jatuh), pingsan, serta tekanan darah rendah.
Sistem Pencernaan:
Pada bayi: sering rewel, kolik/menangis terus-menerus tanpa sebab pada malam hari, sering cegukan, sering "buang bair besar (BAB) mengejan," kembung, sering gumoh, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB timbul warna darah.
Pada anak: nyeri perut, sering BAB lebih dari 3 kali sehari, gangguan BAB (kotoran keras, BAB tidak setiap hari, BAB di celana, BAB berwarna hitam atau hijau, BAB mengejan) kembung, muntah, sulit BAB, sering buang angin (flatus), sariawan, mulut berbau.
Kulit:
Pada bayi sering timbul penebalan merah di pipi, daerah popok dan telinga, timbul kerak di kulit
kepala, sering gatal, dermatitis, bengkak di bibir, lebam biru kehitaman, bekas hitam seperti digigit nyamuk, berkeringat berlebihan.
Sistem Saluran Kemih:
Sering kencing, nyeri kencing
Sistem Susunan Saraf Pusat:
Bayi: sensitif, sering kaget dengan rangsangan suara/cahaya, gemetar.
Anak: Sering sakit kepala, migrain, gangguan tidur, keterlambatan bicara dan gangguan perilaku.
Gangguan perilaku yang sering terjadi adalah emosi berlebihan, agresif, overaktif, gangguan belajar, gangguan konsentrasi, gangguan koordinasi, hiperaktif hingga autisme.
Perilaku: impulsif, sering marah, agresif.
Sistem Hormonal:
Gangguan tidur, chronic fatique symptom (sering lemas), gampang marah, emosi meningkat, histeris
Jaringan otot dan tulang:
Nyeri tulang, nyeri otot, bengkak di leher seperti gondong.
Mata:
Mata berair, mata gatal, sering belekan, bintil pada mata, kulit di bawah mata kehitaman

2.2.8 Pencegahan Alergi
Sebenarnya, alergi dapat dihindari dengan cara-cara berikut ini:
Hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu komposisi atau kandungan makanan atau obat. Biasakan membaca label yang tertera di luar kemasan.
Jika anak Anda alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan baru dalam porsi kecil sehingga Anda dapat mengetahui reaksi alerginya.
Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya. Simpan dalam dompet untuk keadaan darurat.
Selalu bawa obat anti alergi sesuai rekomendasi dokter Anda.

Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi, langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala. (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).
Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa tahapan berikut: (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).
1) Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.
2) Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit, konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada manifestasi yang timbul.
3)  Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel, serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.
4) Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.
5)  Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal dan tes provokasi bronkial . (Tanjung dan Yunihastuti, 2007).

Antihistaminika adalah zat zat yang dapat mengurangi atau menghalagi efek hisyamin terhadap tubuh dengan jalan mengeblok reseptor histamine ( penghambatan saingan) pada awalnya hanya di kenal 1 tipe antihistaminikum, tetapi setelah ditemukannya jenis reseptor kusus pada tahun 1972, yang disebut reseptor H2, maka secara farmakologis reseptor histamine dapat di bagi dalam 2 tipe yaitu reseptor H1 dan reseptor H2. (Hoan Tjai, 2006, 815)
Berdasarkan penemuan ini, antihistaminika juga dapat dibagi dalam 2 kelompok, yakni antagonis reseptor H1(singkatnya disebut H1 blokers atau antihistaminika ) antagonis reseptor H2(H2 blokers atau zat penghambat asam) . (Hoan Tjai, 2006, 815)
Antihistamin (antagonis histamin) adalah zat yang mampu mencegah penglepasan atau kerja histamin. Istilah antihistamin dapat digunakan untuk menjelaskan antagonis histamin yang mana pun, namun seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk kepada antihistamin klasik yang bekerja pada reseptor histamin H1.  (http://www.apoteker.info/arsip_pojok_herbal.htm)
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi), seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin dalam jumlah signifikan di tubuh.
(http://www.apoteker.info/arsip_pojok_herbal.htm)

Antihistaminika dapat digolongkan menurut struktur kimianya sebagai berikut  :
Persenyawaan-persenyawaan aminoalkileter (dalam rumus umum X = O) difenhidramin dan turunan-turunannya; klorfenoksamin (Systral), karbinoksamin (Rhinopront), feniltoloksamin dalam Codipront. Persenyawaan-persenyawaan ini memiliki daya kerja seperti atropin dan bekerja depresif terhadap susunan saraf pusat. Efek sampingannya: mulut kering, gangguan penglihatan dan perasaan mengantuk.
Persenyawaan-persenyawaan alkilendiamin (X = N) tripelenamin, antazolin, klemizol dan mepiramin. Kegiatan depresif dari persenyawaan ini terhadap susunan saraf pusat hanya lemah. Efek sampingannya: gangguan lambung usus dan perasaan lesu.
Persenyawaan-persenyawaan alkilamin (X = C) feniramin dan turunan-turunannya, tripolidin.   Didalam kelompok antihistaminika ini terdapat zat-zat yang memiliki kegiatan merangsang maupun depresif terhadap susunan saraf pusat.
Persenyawaan-persenyawaan piperazin: siklizin dan turunan-turunannya, sinarizin
Pada percobaan binatang beberapa persenyawaan dari kelompok ini ternyata memiliki kegiatan teratogen, yang berkaitan dengan struktur siklis etilaminnya. Walaupun sifat teratogen ini tidak dapat dibuktikan pada manusia, namun sebaiknya obat-obat demikian tidak diberikan pada wanita hamil.
Sebelumnya antihistamin dikelompokkan menjadi 6 grup berdasarkan struktur kimia, yakni etanolamin, etilendiamin, alkilamin, piperazin, piperidin, dan fenotiazin. Penemuan antihistamin baru yang ternyata kurang bersifat sedatif, akhirnya menggeser popularitas penggolongan ini. Antihistamin kemudian lebih dikenal dengan penggolongan baru atas dasar efek sedatif yang ditimbulkan, yakni generasi pertama, kedua, dan ketiga.
Generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan. Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibanding generasi kedua. Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma, sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak.
Sedangkan generasi ketiga merupakan derivat dari generasi kedua, berupa  metabolit (desloratadine dan fexofenadine)  dan enansiomer (levocetirizine). Pencarian generasi ketiga ini dimaksudkan untuk memperoleh profil antihistamin yang lebih baik dengan efikasi tinggi serta efek samping lebih minimal. Faktanya, fexofenadine memang memiliki risiko aritmia jantung yang lebih rendah dibandingkan obat induknya, terfenadine. Demikian juga dengan levocetirizine atau desloratadine, tampak juga lebih baik dibandingkan dengan cetrizine atau loratadine.
Pengelompokan berdasarkan sasaran kerjanya terhadap reseptor histamine:
Antagonis Reseptor Histamin H1
Secara klinis digunakan untuk mengobati alergi. Contoh obatnya adalah: difenhidramina, loratadina, desloratadina, meclizine, quetiapine (khasiat antihistamin merupakan efek samping dari obat antipsikotik ini), dan prometazina.
Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida.
Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.
Senyawa-senyawa lain seperti cromoglicate dan nedocromil, mampu mencegah penglepasan histamin dengan cara menstabilkan sel mast, sehingga mencegah degranulasinya.

Antihistaminika adalah zat-zat yang dapat mengurangi atau menghindarkan efek atas tubuh dari histamin yang berlebihan, sebagaimana terdapat pada gangguan-gangguan alergi.
Bila dilihat dari rumus molekulnya, bahwa inti molekulnya adalah etilamin, yang juga terdapat dalam molekul histamin. Gugusan etilamin ini seringkali berbentuk suatu rangkaian lurus, tetapi dapat pula merupakan bagian dari suatu struktur siklik, misalnya antazolin.
Antihistaminika tidak mempunyai kegiatan-kegiatan yang tepat berlawanan dengan histamin seperti halnya dengan adrenalin dan turunan-turunannya, tetapi melakukan kegiatannya melalui persaingan substrat atau ”competitive  inhibition”.
Obat-obat inipun tidak menghalang-halangi pembentukan histamin pada reaksi antigen-antibody, melainkan masuknya histamin kedalam unsur-unsur penerima didalam sel (reseptor-reseptor) dirintangi dengan menduduki sendiri tempatnya itu. Dengan kata lain karena antihistaminik mengikat diri dengan reseptor-reseptor yang sebelumnya harus menerima histamin, maka zat ini dicegah untuk melaksanakan kegiatannya yang spesifik terhadap jaringan-jaringan. Dapat dianggap etilamin lah dari antihistaminika yang bersaing dengan histamin untuk sel-sel reseptor tersebut. Sebagai inverse agonist, antihistamin H1 beraksi dengan bergabung bersama dan menstabilkan reseptor H1 yang belum aktif, sehingga berada pada status yang tidak aktif. Penghambatan reseptor histamine H1 ini bisa mengurangi permiabilitas vaskular, pengurangan pruritus, dan relaksasi otot polos saluran cerna serta napas. Tak ayal secara klinis, antihistamin H1 generasi pertama ditemukan sangat efektif berbagai gejala rhinitis alergi reaksi fase awal, seperti rhinorrhea, pruritus, dan sneezing. Tapi, obat ini kurang efektif untuk mengontrol nasal congestion yang terkait dengan reaksi fase akhir.
Sementara itu antihistamin generasi kedua dan ketiga memiliki profil farmakologi yang lebih baik. Keduanya lebih selektif pada reseptor perifer dan juga bisa  menurunkan lipofilisitas, sehingga efek samping pada SSP lebih minimal. Di samping itu, obat ini juga memiliki kemampuan antilergi tambahan, yakni sebagai antagonis histamin. Antihistamin generasi baru ini mempengaruhi pelepasan mediator dari sel mast dengan menghambat influks ion kalsium melintasi sel mast/membaran basofil plasma, atau menghambat pelepasan ion kalsium intraseluler dalam sel. Obat ini menghambat reaksi alergi dengan bekerja pada leukotriene dan prostaglandin, atau dengan menghasilkan efek anti-platelet activating factor.
Selain berefek sebagai anti alergi, antihistamin H1 diduga juga memiliki efek anti inflamasi. Hal ini terlihat dari studi in vitro desloratadine, suatu antihistamin H1 generasi ketiga. Studi menunjukkan, desloratadine memiliki efek langsung pada mediator inflamatori, seperti menghambat pelepasan intracellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) oleh sel epitel nasal, sehingga memperlihatkan aktivitas anti-inflamatori dan imunomodulatori. Kemampuan tambahan inilah yang mungkin menjelaskan kenapa desloratadine secara signifikan bisa memperbaiki nasal congestion pada beberapa double-blind, placebo-controlled studies. Efek ini tak ditemukan pada generasi sebelumnya, generasi pertama dan kedua. Sehingga perlu dilakukan studi lebih lanjut untuk menguak misteri dari efek tambahan ini.

Pemberian antihistamin H1 secara oral bisa diabsorpsi dengan baik dan mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Ikatan dengan protein plasma berkisar antara 78-99%. Sebagian besar antihistamin H1 dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system. Konsentrasi plasma yang relatif rendah setelah pemberian dosis tunggal menunjukkan kemungkinan terjadi efek lintas pertama oleh hati.
Waktu paruh antihistamin H1 sangat bervariasi. Klorfeniramin memiliki waktu paruh cukup panjang sekitar 24 jam, sedang akrivastin hanya 2 jam. Waktu paruh metabolit aktif juga sangat berbeda jauh dengan obat induknya, seperti  astemizole 1,1 hari sementara metabolit aktifnya, N-desmethylastemizole, memiliki waktu paruh 9,5 hari. Hal inilah yang mungkin menjelaskan kenapa efek antihistamin H1 rata-rata masih eksis meski kadarnya dalam darah sudah tidak terdeteksi lagi. Waktu paruh beberapa antihistamin H1 menjadi lebih pendek pada anak dan jadi lebih panjang pada orang tua, pasien disfungsi hati, danm pasien yang menerima  ketokonazol, eritromisin, atau penghambat  microsomal oxygenase lainnya.

Antagonis reseptor H1
Difenhidramin : Benadryl (Parke Davis)
Disamping khasiat antihistaminiknya yang kuat, difenhidramin juga bersifat spasmolitik sehingga dapat digunakan pada pengobatan penyakit parkinson, dalam kombinasi dengan obat-obat lain yang khusus digunakan untuk penyakit ini.
Dosis : oral 4 kali sehari 25 – 50 mg, i.v. 10-50 mg
Dimenhidrinat: difenhidramin-8-klorotheofilinat, Dramamin (Searle), Antimo (Phapros).
Pertama kali digunakan pada mabuk laut (“motion sickness”) dan muntah-muntah sewaktu hamil.
Dosis : oral 4 kali sehari 50 – 100 mg, i.m. 50 mg.
Metildifenhidramin :  Neo-Benodin (Brocades)
Adalah derivat, yang khasiatnya sama dengan persenyawaan induknya, tetapi sedikit lebih kuat.
Dosis :  oral 3 kali sehari 20 – 40 mg.
Tripelenamin : Pyribenzamin (Ciba-Geigy), Azaron (Organon)
Rumus bangun dari zat ini menyerupai mepiramin, tetapi tanpa gugusan metoksil (OCH3).
Khasiatnya sama dengan difenhidramin, hanya efek sampingannya lebih sedikit.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 – 100 mg.
Antazolin : fenazolin, Antistine (Ciba-Geigy)
Khasiat antihistaminiknya tidak begitu kuat seperti yang lain, tetapi kebaikannya terletak pada sifatnya yang tidak merangsang selaput lendir. Maka seringkali digunakan untuk mengobati gejala-gejala alergi pada mata dan hidung (selesma) Antistine-Pirivine, Ciba Geigy
Dosis : oral 2 – 4 kali sehari 50 – 100 mg
Feniramin : profenpiridamin, Avil (hoechst)
Terutama digunakan sebagai garam p-aminosalisilatnya
Dosis : oral 3 kali sehari 25 mg
klorfenamin  (klorfeniramin, Methyrit-SKF; CTM, KF; Pehaclor, Phapros)
adalah derivateklor, Substitusi dari satu atom klor pada molekul feniramin meningkatkan  khasiatnya 20 kali lebih kuat, tetapi derajat toksisitasnya praktis tidak berubah.  Efek sampingan dari obat ini hanya sedikit dan tidak memiliki sifat menidurkan.
Dosis : oral 4 kali sehari 2 – 8 mg, parenteral 5 – 10 mg.

deksklorfeniramin (Polaramin, Schering)
adalah  d- isomer dari klorfeniramin (terdiri dari suatu campuran rasemis) yang terutama  bertanggung jawab untuk kegiatan antihistaminiknya. Toksisitasnya dari campuran d-isomer ini tidak melebihi daripada campuran rasemiknya.
Dosis : oral 3 kali sehari 2 mg.
Siklizin : Marezin (Burroughs Welcome)
Zat ini khusus digunakan sebagai obat mabuk perjalanan.
Dosis : oral 3 kali sehari 50 mg.
meklozin (meclizin,Suprinal)
Sifat antihistaminiknya kuat dan terutama digunakan untuk menghindarkan dan mengobati perasaan mual karena mabuk jalan dan pusing-pusing (vertigo). Mulai bekerjanya lambat, tetapi berlangsung lama (9 – 24 jam).  Berhubung dengan peristiwa thalidomide, zat ini dilarang penggunaannya di Indonesia.  Kerja teratogennya hingga kini belum dibuktikan.
Sinarizin : Cinnipirine(ACF), Stugeron (Jansen)
Adalah suatu antihistaminika dengan daya kerja lama dan sedikit saja sifat menidurkannya. Disamping ini juga memiliki sifat menghilangkan rasa pusing-pusing, maka sangat efektif pada bermacam-macam jenis vertigo (dizzines, tujuh keliling); mekanisme kerjanya belum diketahui.
Selain itu sinarizin memiliki khasiat kardiovaskuler, yakni melindungi jantung terhadap rangsangan-rangsangan iritasi dan konstriksi. Perdarahan di pembuluh-pembuluh otak dan perifer (betis, kaki, tangan) diperbaiki dengan jalan vasodilatasi, tetapi tanpa menyebabkan tachycardia dan hipertensi secara reflektoris seperti halnya dengan  vasodilator-vasodilator lainnya.
Dosis : pada vertigo 1 – 3 kali sehari 25 – 50 mg, untuk memperbaiki sirkulasi: oral 3 kali sehari 75 mg
primatour  (ACF)
adalah  kombinasi  dari sinarizin 12,5  mg  dan  klorsiklizin  HCl  25  mg. Preparat ini adalah kombinasi dari dua antihistaminika dengan kerja yang panjang dan Singkat. Obat ini khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mulai kerjanya cepat,   yaitu ¼ sampai ½ jam dan berlangsung cukup lama.
Dosis : dewasa 1 tablet.
Oksomemazin : Doxergan, Toplexil (Specia)
Adalah suatu persenyawaan fenothiazin dengan khasiat antihistaminikum yang sangat kuat, tetapi toksisitasnya rendah. Penggunaan dan efek sampingannya sama seperti antihistaminika lain dari golongan fenothiazin.
Dosis : 10 – 40 mg seharinya
Promethazin : Phenergan (Rhodia)
Persenyawaan fenothiazin ini adalah antihistaminikum yang kuat dan memiliki kegiatan yang lama (16 jam). Memiliki kegiatan potensiasi untuk zat-zat penghalang rasa nyeri (analgetika) dan zat-zat pereda (sedativa).
Berhubung sifat menidurkannya yang kuat maka sebaiknya diberikan pada malam hari.
Dosis : oral 3 kali sehari 25 – 50  mg; parenteral 25 mg lazimnya sampai 1 mg per Kg berat badan
promethazin-8-klorotheofilinat (Avomin)
adalah turunan dari promethazin yang memiliki khasiat dan penggunaan yang sama dengan dimenhidrinat,   tetapi tanpa efek menidurkan.
Thiazinamium : Multergan (Specia)
Disamping khasiatnya sebagai antihistaminikum juga memiliki khasiat antikolinergik yang kuat, sehingga banyak dugunakan pada asma bronchiale dengan sekresi yang berlebihan.
Siproheptadin : Periactin (Specia)
Persenyawaan piperidin ini adalah suatu antihistaminikum dengan khasiat antikolinergik lemah dan merupakan satu-satunya zat penambah nafsu makan tanpa khasiat hormonal.
Zat ini merupakan antagonis serotonin seperti zat dengan rumus pizotifen (Sandomigran), sehingga dianjurkan sebagai obat interval pada migrain.
Efek sampingannya : perasaan mengantuk, pusing-pusing, mual dan mulut kering. Tidak boleh diberikan pada penderita glaucoma, retensi urine dan pada wanita hamil.
Mebhidrolin  : Incidal (Bayer)
Mengandung 50 mg zat aktif, yakni suatu antihistaminikum yang praktis tidak memiliki sifat-sifat menidurkan.
Dosis : rata-rata 100 – 300 mg seharinya
Antagonis Reseptor Histamin H2
Reseptor histamin H2 ditemukan di sel-sel parietal. Kinerjanya adalah meningkatkan sekresi asam lambung. Dengan demikian antagonis reseptor H2 (antihistamin H2) dapat digunakan untuk mengurangi sekresi asam lambung, serta dapat pula dimanfaatkan untuk menangani peptic ulcer dan penyakit refluks gastroesofagus. Contoh obatnya adalah simetidina, famotidina, ranitidina, nizatidina, roxatidina, dan lafutidina.
Antagonis Reseptor Histamin H3
Antagonis H3 memiliki khasiat sebagai stimulan dan memperkuat kemampuan kognitif. Penggunaannya sedang diteliti untuk mengobati penyakit Alzheimer's, dan schizophrenia. Contoh obatnya adalah ciproxifan, dan clobenpropit.
Antagonis Reseptor Histamin H4
Memiliki khasiat imunomodulator, sedang diteliti khasiatnya sebagai antiinflamasi dan analgesik. Contohnya adalah tioperamida. Beberapa obat lainnya juga memiliki khasiat antihistamin. Contohnya adalah obat antidepresan trisiklik dan antipsikotik. Prometazina adalah obat yang awalnya ditujukan sebagai antipsikotik, namun kini digunakan sebagai antihistamin.

Antihistamin generasi pertama di-approve untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi konjunktivitas, dan urtikaria. Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif, sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation. (http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/)

Antihistamin generasi pertama: hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural, bayi baru lahir atau premature, ibu menyusui, narrow-angle glaucoma, stenosing peptic ulcer, hipertropi prostat simptomatik, bladder neck obstruction, penyumbatan pyloroduodenal, gejala saluran napas atas (termasuk asma), pasien yang menggunakan monoamine oxidase inhibitor (MAOI), dan  pasien tua.  (http://agungrakhmawan.wordpress.com/anti-histamin/)
Antihistamin generasi kedua dan ketiga : hipersensitif terhadap antihistamin khusus atau terkait secara struktural.
Terjadi pada 15 -25% pasien yang di beri antihistamin, dengan derajat intensitas yang berada secara individual. (Imam Budi: 2008)
Depresi atau stimulasi susunan saraf pusat
Depresi susunan saraf pusat berupa sedasi bahkan sampai spoor sering menggangu aktivitas sehari-hari, teqadi pada pemakaian golongan amino alkil ether dan phenothiazine, tolerans terhadap efek sedasi dapat terjadi setelah beberapa hari pemberian.

Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H‑­1 secara topical golongan ethylene diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain yang mempunyai struktur yang mirip( aminophiline).
Efek sedasi akan meningkat bila antihistsmine H1 diberikan bersama dengan obat antidepresan  obat anti alcohol.
Golongan phenothiazine dapat menghambat efek vasopressor dari epinephrine.
Efek anti kolinergik dari antihistamine akan menjadi lebih berat dan lebih lama di berikan bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone, isocarboxazid).
Golongan piperazine pada binatang percobaan dapat menimbulkan efekteratogenik.

Alergi merupakan suatu reaksi abnormal yang terjadi di tubuh akibat masuknya suatu zat asing. Saat alergen masuk ke dalam tubuh, sistem imunitas atau kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan dengan membuat antibodi yang disebut Imunoglobulin E. Imunoglobulin E tersebut kemudian menempel pada sel mast. Pada tahap berikutnya, alergen akan mengikat Imunoglobulin E yang sudah menempel pada sel mast. Ikatan tersebut memicu pelepasan senyawa Histamin dalam darah. Peningkatan Histamin menstimulasi rasa gatal melalui mediasi ujung saraf sensorik. Senyawa Histamin yang teramat banyak juga bisa disebabkan oleh stress dan depresi.
Pengobatan gatal-gatal karena alergi dilakukan dengan jalan pemberian obat antihistamin yang banyak dijual secara bebas. Sesungguhnya pemakaian obat antihistamin hanya menghilangkan gejala alergi dan menghindari serangan yang lebih besar di masa mendatang, tidak menyembuhkan alergi.

Sebaiknya, alergi dapat dihindari dengan cara-cara berikut ini.
Hindari pemicu alergi, misalnya makanan atau obat. Cari tahu komposisi atau kandungan makanan atau obat. Biasakan membaca label yang tertera di luar kemasan.
Jika anak Anda alergi makanan tertentu, kenalkan jenis makanan baru dalam porsi kecil sehingga Anda dapat mengetahui reaksi alerginya.
Penderita alergi sebaiknya selalu membawa kartu atau daftar jenis alergi atau alergen yang dideritanya. Simpan dalam dompet untuk keadaan darurat.
Selalu bawa obat anti alergi sesuai rekomendasi dokter Anda.


Anang Endaryanto, Ariyanto Harsono, Prospek Probiotik dalam pencegahan alergi melalui induksi aktif toleransi imunologis: Divisi Alergi Imunologi: Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK-Unair/RSU Dr.Soetomo  Surabaya
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Budi, Imam. 2008. Pemakaian Antihistamin Pada Anak : FK-USU.
Rengganis, Iris. Yunihastuti, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Tan, Hoan Tjai.  Obat-obat Penting. 2007.Jakarta: PT. Gramedia
Sukandar, Elin Yulinah, ISO Farmakoterapi. 2008. Jakarta: PT. ISFI

1 komentar: